Cerpen cinta *Lelaki Berselimutkan Duka*

Posted
Cerpen cinta *Lelaki Berselimutkan Duka*

Wajah itu sudah tak teramat asing bagiku, rautan wajah penuh wibawa dan tegas, terbingkai oleh rahang segi empatnya, terlihat ada ketegaran sikap dalam rona wajah itu. Diterangi oleh keremangan cahaya lampu kota yang sudah memudar, wajah itu terlihat buram, cahaya tipis yang meneranginya hanya menambah kelelahan yang semakin terlihat dari wajahnya yang kini semakin terlihat tua dan tak bercahaya lagi, tapi masih terlihat tubuhnya yang tegap dengan gagahnya, menyisakan ketenaran hidupnya yang mungkin pernah berjaya di masa lalu, ya mungkin.
Wajah lelaki itu selalu ada dalam keheningan kota yang sumpek dan berdebu, terlihat ayunan langkahnya yang pelan meniti trotoar dan jalanan aspal yang becek. Genangan air hujan tak menyurutkan langkahnya untuk terus berjalan walaupun tertatih-tatih, pandangan matanya yang terlihat menyipit mulai tertutup oleh keriput kecil di sudut kelopak matanya. Genangan air mata membekas dan sudah terlihat mengering, bercampur dengan kotoran di matanya yang entah sudah berapa lama tak terhapus oleh basuhan air. Wajah yang terlihat letih dan semakin terlihat letih yang terpancarkan dari sinar matanya yang mencerminkan keletihan di hatinya.
Entah sudah berapa lama ia alami keletihan itu, barangkali seusia bangunan megah yang terlihat berdiri kokoh di sepanjang perjalanan si lelaki itu yang sudah keberapa kali ia lalui setiap harinya. Ya, barangkali seusia bangunan itu. Tak selalu lelaki itu berjalan memutari gedung mewah yang berdiri kokoh di sudut jalan kota itu, sempat beberapa kali ku lihat ia berjalan menyusuri sungai kecil dan berbau yang ada di pinggiran gedung itu. Ia terus berjalan dan tak berusaha untuk mempedulikan orang orang di sekitarnya yang kadang menatap sebelah mata padanya. Ayunan langkah lelaki itu terus melangkah dan seperti telah memiliki tujuan yang pasti, seolah mata kakinya menjadi panduan yang mengarahkannya pada satu tujuan, pandangan sinis dan tatapan aneh di sekitarnya seolah tak membekas dalam pikirannya. Pandangan yang bercampur aduk antara iba dan benci terlihat dari tatapan mereka yang menatap silih berganti dan kemudian terlupakan, hanya sesaat saja, seperti selingan pandangan yang tak berfokus, tatapan yang tak peduli.
Tatapan yang sesaat dan tak berkepanjangan, tatapan yang hanya melintas sejenak dalam memori kecil di ingatan, tak tersimpan lama dalam memori utama di dalam otak. Ya, memang hanya sesaat dan hilang begitu saja, tapi buatku, tak mudah hanya untuk sekedar melintaskannya walau hanya sesaat, entah kenapa sosok lelaki itu sudah tersimpan penuh dalam memori utama di dalam pikiranku. Dan akan terus tersimpan secara otomatis kala aku kembali bertemu dan menjumpai sosok lelaki itu yang memang selalu terlihat di setiap perjalanan menuju tempat kerjaku, yang pasti aku lalui setiap pagi dan malam hari. Sosok itu seolah menjadi pemandangan yang wajib aku temui.
Lelaki misterius, ya begitulah aku menyebutnya, ku pikir usianya sekitar 40 tahunan mungkin lebih sedikit. Ya barangkali saja sudah mendekati 50 tahun, wajahnya yang lelah tapi tak terlihat tua dan berumur lanjut, hanya termakan oleh kegundahan batin yang hancur saja ku pikir. Perasaan resah dan gelisah yang menggerogoti hatinya, seperti ada kecamuk dan pergolakan serta emosi yang tak terlampiaskan yang menghantui batinnya. Seperti itulah yang terlihat dari sorot matanya yang terlihat kosong tak bersahabat, seperti itulah yang aku tangkap dan langsung membekas dan tersimpan dalam memori sel otakku.
Tersimpan kembali secara otomatis seperti ada perintah saving and yes, seperti yang biasa aku lakukan manakala aku lakukan penyimpanan file di laptopku. Seperti yang biasa aku lakukan di setiap aku menyelesaikan sebuah pekerjaan di malam hari sebelum beranjak pulang. Hujan rintik turun bersamaan dengan alunan angin malam, berdesir dan meniupkan desauan lagunya yang lirih di keremangan malam. Bintang bertaburan di langit yang sedikit tertutup awan gelap, tak banyak terlihat bintang yang ku lihat malam ini, mungkin karena rintisan gerimis yang menutup malam. Aku melangkah pulang seperti biasanya.
Berjalan sendiri di keheningan trotoar kota yang sudah mulai terasa sepi, tas kerja aku selendangkan di bahu, berisi laptop kecil dan beberapa kertas kerja yang mungkin saja akan aku kembali selesaikan di rumah apabila masih ada mood untuk bekerja. Ya itu pun apabila rasa kantuk belum menyerang ku pikir. Tiba di perempatan jalan yang sedikit ramai, aku berhenti sejenak di kedai kopi langgananku. Secangkir kopi panas dan beberapa potong tahu goreng mungkin akan sedikit menghangatkan badanku di tengah gerimis yang sudah turun sedari sore tadi.
“Malam Mas Priyo,” sambutan hangat meyapaku ke luar dari mulut mbak Trinil si penjaga kedai, ya memang sapaan itu selalu menyambutku apabila wajahku nongol di balik tenda kedainya yang tak terlihat besar namun bersih, “Malam juga Mbak,” sahutku tak kalah hangatnya. Aku dudukkan pantatku di bangku plastik yang terasa keras. Ya memang terasa keras dan kecil bangku itu, tidak seperti sofa sofa empuk dan tebal yang selalu ada di kafe kafe yang berada di gedung mewah di sebelah kedai kopi itu. Hanya sesekali saja aku mampir di kafe yang terletak di teras gedung pusat perbelanjaan itu, Memang terasa berbeda, jauh sekali dengan suasana di kedai mungil mbak Trinil ini.
Suasana mewah sangat terasa di kafe itu, dan pengunjungnya pun rata-rata adalah pekerja kantoran yang banyak terdapat di sepanjang jalan ini. Sekedar bertemu teman lama atau meneruskan gosip yang tak selesai karena kesibukan kerja seharian di kantor. Tapi ada satu perbedaan yang sangat aku rasakan dari kedai kopi mbak Trinil yaitu kopinya yang memang sangat pas di lidahku. Kopi murah yang beraroma wangi, mengingatkanku pada wangi kopi di pasar saat aku kecil dan sering menemani ibuku berbelanja. Aku suka sekali melihat orang yang tengah menggerus biji kopi di mesin gerusan kopi yang sangat sederhana.
Lalu keluarlah aroma wangi kopi yang seakan membuatku merasa tenang dan damai, tapi ketenangan itu biasanya tak akan lama, karena ibuku akan segera menarik tanganku untuk bergegas pulang. Kenangan masa kecil yang suka melewati alam nyataku saat ini, dan wangi itu kembali terulang manakala aku memasuki kedai kecil ini. Tak heran aku lebih suka memilih minum kopi di kedai ini dibandingkan duduk di kafe mewah di dalam gedung mewah itu. Tapi tak ada kesan wangi khas yang aku temui di sana, hanya mendapatkan suasana yang sepi dan secangkir kopi hangat yang menurut lidahku tak pantas aku teguk.
Seperti sudah hapal akan pesananku dan tanpa diminta lagi mbak Trinil segera menghidangkan segelas kopi panas yang masih mengepul. Asapnya yang membumbung pelan membawakan aroma wangi khas yang selalu aku rindukan. Sejenak aku nikmati aroma itu, seakan tak ingin beranjak, hidungku yang dingin terasa hangat kala ku dekatkan pada gelas bening yang masih mengepulkan asap wangi kopi kesenanganku tersebut. Tapi seakan tak ingin melawatkan panasnya aku hirup perlahan dan bibirku yang juga terasa dingin kembali terasa hangat kala hirupan kopi pertamaku mengalir pelan memasuki teras lidahku yang mengecap penuh nikmat.
Kedai tak ramai malam itu, ya mungkin karena deraian hujan rintik yang membuatnya terasa sepi, hanya ada dua orang pengunjung yang tengah asyik berbincang dengan pelan, dan terlihat dua gelas kopi di hadapannya yang tersisa setengah lagi, “Pasti mereka sudah ada di sini dari tadi,” pikirku sambil mengunyah tahu goreng yang akan menemaniku dengan dengan secangkir kopi panas yang wangi ala mbak Trinil, kenikmatan yang murah meriah.
Tak berapa lama berselang, saat aku sudah menghabiskan 3/4 kopiku yang mulai mendingin, masuklah seorang lelaki yang yang sudah tak asing lagi bagiku. Lelaki kumal dengan wajah lelahnya, dan duduk dengan goyangan badannya yang lemah, ia tepat duduk di depanku. Terlihat jelas wajahnya yang lelah dan letih itu di depanku. Baru kali ini aku melihat dengan begitu dekat padanya, terlihat sekali wajah itu dengan jelas. Ku perhatikan ada jenggot tipis yang telah memutih di dagunya, ya sekarang baru terlihat, biasanya aku hanya memperhatikan dari kejauhan saja.
“Yu, aku pesan kopi tubruk aroma jawa!” lelaki itu berkata dengan suara yang cukup lantang.
“Aroma jawa? “aku bertanya dalam hati, belum mengerti dengan ucapan lelaki itu.
“Apa ada aroma Padang atau Bugis di setiap kopi ya?” aku mencoba menafsirkan dalam hati, tapi tak ku teruskan lagi pikiran itu, karena rasa penasaran ini mengalahkan seuntai pertanyaanku tadi.
Tak lama Mbak Trinil menghidangkan kopi wangi, sama seperti yang aku minum tadi, dan seperti biasanya wangi kopi kembali menyeruak perlahan menusuk hidungku. Rasa tenang dan damai sejenak menghampiri otakku yang masih sibuk ingin bertanya dalam hati melihat kehadiran lelaki misterius yang selalu muncul di benakku. Lama ku perhatikan lelaki di hadapanku ini, sesekali matanya bertemu dengan mataku yang mencoba mencuri pandang padanya, dan aku pun langsung menoleh seakan akan aku tak memperhatikannya, tapi rasa penasaranku masih menggoda.
Ia menyeruput kopinya dengan tatapan kosong, perlahan-lahan ia hirup kopi itu dengan wajah yang tanpa ekspresi. Terasa hambar dan tak ku lihat ada desahan nikmat seperti halnya para penikmat kopi lainnya. Ia hirup kopi itu seperti layaknya air putih biasa yang menjadi penawar dahaganya. Bukan minuman selingan yang dapat memberikan rasa nikmat di setiap tegukannya, dan mataku masih memperhatikannya. Ku lihat baju yang lusuh membalut badannya yang terlihat kotor dan berdebu, kulitnya yang tak sebersih tanganku terlihat legam walau tak sehitam orang Papua. Hanya legam dan terlihat kering karena mungkin sudah lama tak terguyur air segar dan wangi sabun.
Tak terasa 20 menit aku perhatikan, dan ku lihat ia mengangkat badannya dengan lemah dan membayar segelas kopinya, saat itulah aku melihat dengan jelas kala ia mengeluarkan dompet kulitnya yang buram dan sudah tak berwarna dari balik saku celana hitam dekilnya. Tak sengaja aku melihat ada sehelai foto hitam putih yang tersimpan di balik plastik dompetnya. Masih terlihat jelas, ada wajah anak perempuan kecil di foto tersebut. Wajah gadis kecil mengenakan seragam sekolah dan memiliki dua kepang dan terlihat tersenyum ceria, anak yang manis. Walaupun hanya terbingkai dalam sehelai pas foto, wajah gadis kecil itu langsung tertutup manakala lelaki itu menutup dompetnya dan langsung memasukkannya kembali ke dalam saku celana hitam lusuhnya yang terlihat dekil dan longgar.
“Siapakah gerangan gadis kecil di foto tersebut?” kembali pikiranku melayang dan rasa penasaran kembali datang menggodaku, beribu pertanyaan seakan mengalir kencang, ke luar dari hati dan pikiranku yang masih terbalut penasaran. Kini ada dua sosok misterius, lelaki itu dan sekarang ditambah dengan kehadiran gadis kecil yang berwujud pas foto yang terselip di dompet lelaki itu.
Pikiranku diselimuti luapan tanya, langkah kaki yang terasa berat ku paksakan melangkah dalam kegelapan malam sepanjang arah pulangku. Ya foto gadis kecil itu mengingatkanku pada seseorang, rupa lugu yang samar-samar mengisi memori batin dan akalku. Mencoba untuk mengingat kembali perjumpaaan malam itu pada lelaki kumal yang terlihat lelah dan menyisakan beban batin yang menghiasi sosrot matanya. Dan aku masih terus memikirkan si gadis kecil itu, walaupun hanya sehelai foto. Perlahan ingatanku sedikit membuka, aku teringat kejadian 6 tahun silam di bangunan tua dulu. Kini tak berbekas, digantikan oleh menjulangnya bangunan megah yang mana di terasnya terdapat kafe mewah yang sepi, tempat aku pernah menghirup kopi yang terasa aneh rasanya di lidahku.
Ya kejadian itu masih membekas di pikiranku, kala itu aku masih kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini, masih teringat suara kepanikan yang yang membaur dengan kobaran api yang menjilat ruko tua itu, peninggalan bangsa Tionghoa era kolonial. Perlahan-lahan ingatanku muncul kembali, pelan dan bergerak pelan mencoba untuk meloading arsip dalam otakku, pelan, pelan, dan ya! aku ingat semuanya. Aku ingat pada kejadian di malam saat itu, saat si jago merah meluluh lantakan bata-bata dan tembok tuanya. Aku ingat bayangan lelaki yang berlari menerobos kumpulan asap tebal, dan di pangkuannya terbaring tubuh kecil seorang anak yang badannya telah terbakar api, gosong dan berasap. Aku masih ingat kejadian 6 tahun silam, badan gadis kecil itu telah hitam terbakar, tapi wajahnya masih teramat jelas, sedikit tertutup oleh rambutnya yang panjang dan berkeriwil karena jilatan api. Wajah gadis kecil itu persis seperti yang aku lihat pada sehelai foto yang terselip di dompet lusuh lelaki tua misteriusku.
Dua malam berselang setelah pertemuan di kedai kopi, aku mencoba mencari lelaki misterius di sepanjang trotoar yang basah. Tak ku dapati ia, mataku mencari dalam keremangan dan hembusan asap kendaraan, masih tak kudapati. Di manakah gerangan lelaki itu berada, ku paksakan untuk menuruni jembatan kecil yang berada di belakang gedung mewah. Jembatan kecil yang mengarah pada sungai kecil yang butek dan berbau sampah, terasa gelap dan pekat kala aku menyusuri jembatan itu, karena memang sudah lama tak terpakai. Di ujung jembatan aku berhenti, mataku seperti melihat bayangan yang tengah duduk membungkuk di tepi sungai yang kotor oleh sampah itu.
Aku menemukan lelaki itu tengah duduk termenung dalam pekatnya malam. Dari kejauhan terdengar senandung yang terbata-bata, melagukan lagu kesedihan yang menyayat hati. Alunan senandung berbisik ke luar dari mulut lelaki itu, jelas terdengar di kesunyian. Alunan nada yang terdengar seperti lagu pengantar tidur, dan lelaki itu memang tengah menidurkan sebatang pohon pisang yang telah kuning warnanya, sekuning air di sungai itu. Dan ku lihat ia meletakkan sehelai foto, dan wajah dalam foto adalah wajah yang pernah ku lihat di kedai kopi mbak Trinil. Aku pun tahu, siapakah lelaki itu, masih terbayang tangisannya kala menerobos kepulan asap di malam itu, kini aku tahu siapa dia, dan gadis itu.
Kini hanya tersisa senyumannya saja, dan jasadnya tergantikan oleh seonggok batang pisang berwarna kuning tua. Ku tinggalkan ia bersama gadisnya, kembali menyusuri jalanan kota yang telah sepi sambil melewati gedung megah yang dulu adalah ruko tua, tempat lelaki dan gadis kecilnya dulu pernah bahagia disana. Aku pun pulang dengan perasaan hampa dan kosong dan kini aku tahu siapa dia, dan batinku mengucapkan doa untuk mereka. Ku lemparkan hembusan doa doa padanya, pada lelaki tua yang masih bersenandung sambil memegang foto gadis kecilnya, dan kini aku harus pulang. Tapi doa masih ku panjatkan dan aku yakin Tuhanku mendengarnya.

Please Wait...

Cerpen Karangan: Riza
Share on Google+

You Might Also Like

Comment Now

0 comments