cerpen : Terminal Terakhir

Posted
Terminal Terakhir  
Cerpen Karangan: Shin Zhoulee
Hasil gambar untuk halte bus cinta

Inilah salah satu hobiku ketika pikiranku penuh dengan berbagai pertimbangan, ketika butuh penyegaran aku pergi melintasi kota tanpa tujuan dengan kendaraan umum. Atau hanya sekedar naik bus dan mampir ke mesjid-mesjid raya yang dilewati serta bertemu dengan orang-orang baru yang bisa memberikan pelajaran berharga buatku dan ini terkadang bisa membantuku untuk memberikan keputusan atas pertimbanganku.
Karena aku meyakini setiap kejadian yang aku alami dan aku lihat tak ada yang kebetulan semua memiliki makna bagi kita yang mempelajari kehidupan. Entah sudah berapa lama aku terjebak dalam rutinitas kemacetan jalanan dalam bus yang aku tumpangi, pikiranku masih melayang pada waktu-waktu yang telah ku lalui. Aku tersadar ketika sang kondektur menyapaku untuk menagih ongkos perjalananku.
“Ke mana Mbak?” tanyanya ketika aku menyerahkan pecahan uang lima puluh ribuan. “sampai mobil ini berhenti Pak.” ucapku sekenanya. Tanpa pikir panjang lagi sang kondektur memberikan uang kembalian padaku, mungkin dia paham tujuanku adalah terminal terakhir. Baru aku menyadari bahwa yang duduk di sampingku adalah seorang ibu muda mungkin sebaya aku usianya dengan seorang anak sekitaran lima bulanan. Penampilannya sungguh sederhana dan terlihat anggun dengan kerudung hijaunya.
“Teteh mau ke Bandung?” tanyanya. Karena bus yang aku tumpangi adalah bus tujuan Jakarta-Bandung.
“mungkin.” hanya itu yang bisa ku jawab, karena aku tak tahu ke mana tujuanku.
“Kok Mungkin?” tanyanya lagi dengan heran. “Bukannya tadi Mbak bilang sampai mobil ini berhenti, ku pikir sampai terminal terakhir.” lanjutnya. Aku hanya terdiam tak tertarik untuk menjawab pertanyaannya, dan kembali pada lamunanku tentang hari-hari yang aku lalui hingga kenapa aku berada di sini.
“Maaf Mba kalau saya tadi tanya-tanya.” sapa ibu di sampingku dengan nada memelas.
“Oh gak apa-apa, cuma saya juga bingung mau ke mana, jadi saya jawab sekenanya aja ke kondekturnya.” jawabku.
“Oh, kenalkan nama saya Fitri, ini anak saya Rara baru lima bulan usianya. Boleh tahu nama teteh siapa yah?” ujarnya memperkenalkan diri. “Panggil saja aku Lia, Teh Fitri mau ke Bandung? Kok hanya berdua saja? Suaminya ke mana? Kok berani pergi jauh dengan membawa bayi tanpa ada yang dampingin?” tanyaku beruntun.
“Wah si teteh nih bisa aja, tadi udah bikin saya gak enak bertanya karena diam saja, eh sekarang malah berondong aku dengan pertanyaan.”
“yah biar Mba jadi enak perasaan lagi, kan tadi udah dibuat gak enak.” kilahku.
“oh begitu, sebelumnya aku diantar Adikku teh, cuma hanya sampai terminal saja karena harus sekolah jadi tak bisa mangantarkan aku ke Bandung.”
“Suaminya?” tanyaku lagi dengan rasa penasaran.
“Justru karena suami teh aku nekat untuk berangkat hanya berdua saja dengan Rara. Suamiku kecelakaan makanya aku buru-buru untuk kembali ke Bandung, rencananya baru akan kembali akhir pekan depan dan akan dijemput olehnya. Ternyata keadaannya tidak sesuai dengan yang direncanakan.” tuturnya sedih dengan mata yang berkaca-kaca.
Tiba-tiba si Mungil Rara terbangun dari tidurnya, dengan muka lucunya dia memperhatikan wajah ibunya dan sekitarnya. “Sepertinya dia terganggu dengan percakapan kita.”
“Biasa teh anak kecil mah, gak ada namanya tidur pulas apalagi di kendaraan, mudah-mudahan dia gak rewel sampai tempat tujuan.” Aku hanya tersenyum dan tak tertarik untuk melanjutkan percakapanku. Bukan karena aku tak suka dengan terbangunnya si mungil Rara tapi karena pikiranku yang tak menentu. Kali ini aku tak bisa mengabaikan perkataan dari orang yang ku sayangi, kekhawatiran seorang ibu terhadap putrinya.
“Sudah tiga puluh empat tahun usiamu, Adik-adikmu juga sekarang sudah bisa mandiri, Aini pun sudah menikah bahkan hidupmu sendiri sudah lebih dari mampu, kamu sudah memberikan kami semua kehidupan yang layak kini sudah waktunya Ibu dan Bapak melihatmu berkeluarga. Ibu tidak mau melihatmu sibuk dengan karirmu yang melenakanmu hingga kamu lupa sudah berapa lama kamu hidup di dunia ini. Kamu memang tidak pernah lupa kewajiban terhadap Tuhanmu, tapi ingat kau belum menyempurnakan agamamu.”
“Sebagai sulung kamu sudah melaksanakan kewajibanmu, kau telah berjuang untuk hidupmu, Adik-adikmu dan membuat bangga orangtuamu, tapi kami akan lebih bangga ketika kau bisa menyempurnakan agamamu. Memiliki imam yang selalu menuntunmu menuju surga-Nya. Dan Ibu ingin kamu melakukan kegiatan yang sesuai dengan pendidikanmu, yaitu mendidik anak-anak bangsa generasi penerus masa depan bukan sibuk dengan karirmu saat ini. Walaupun jalan karirmu bagus tapi Ibu tak ingin kamu terlena di sana..” itulah kata-kata ibuku dua jam lalu yang terngiang di benakku dan cukup kuat mengusik pikiranku.
Mungkin hal yang wajar seorang ibu mengkhawatirkan hal itu, apalagi ketika usia putrinya sudah sangat matang untuk berkeluarga. Tapi di sisi lain ada hal yang tidak mereka ketahui hal yang terlupakan, yaitu hati yang tak bisa diarahkan dan cinta yang tak bisa dipaksakan ketika belum menemukan tambatannya. Aku percaya bahwa jodoh sudah diatur oleh yang kuasa, namun itu melibatkan dua perasaan yang akan bersatu. Tak ku pungkiri selain dari doa orangtuaku, kesuskesan karirku juga dikarenakan oleh loyalitasku pada pekerjaanku.
Aku yang membenamkan diri untuk membunuh semua perasaanku membuatku menjadi seorang yang workaholic bahkan tak ada kata libur dalam kamus hidupku. Aku mulai bekerja semenjak lulus dari Sekolah Menengah Atas dan ambil kuliah kelas malam untuk menunjang kerjaanku agar mendapatkan posisi yang lebih baik dan aku pun mengambil kuliah keguruan di hari libur demi harapan orangtuaku agar menjadi guru kelak. Aku berjuang untuk kehidupanku, adik-adikku dan orangtuaku dan membunuh cinta yang pernah ada di hatiku.
Aku lakukan dengan menyibukkan diriku pada kerjaanku, loyalitasku penuh untuk karirku hingga aku mendapat posisi penting di tempat kerjaku dengan segala fasilitasnya. Namun dari hati kecilku semakin aku mencoba membunuh perasaanku semakin tak bisa aku melupakan cinta dalam hatiku, cinta pertamaku, cinta yang yang hampir delapan belas tahun bersemayam di hatiku. Bukan aku tak memikirkan untuk memiliki sebuah keluarga, tapi tak mungkin untukku hidup dengan orang lain sedangkan aku tak bisa membuka hatiku untuk menerima orang tersebut. Oleh sebab itu aku selalu menunda peta konsepku untuk menikah.
Lutfi Hamzah Firdaus itulah satu nama yang selalu menetap dalam hatiku, Pertama aku mengenalnya saat menjadi peserta Masa Orientasi Sekolah sewaktu SMA dari situlah kekagumanku tumbuh walau dulu tak paham apa arti dari perasaanku. Seiring waktu berjalan aku makin mengaguminya. Aku mencintainya karena kekagumanku pada kehidupannya yang sederhana, serta memiliki jiwa kepemimpinan. Aku tak pernah satu kelas dengannya namun kami satu organisasi remaja islam mesjid di sekolah. Biarpun begitu aku mencintai dan mengaguminya itu hanya dalam hatiku, tak ada yang tahu tentang itu selain aku dan Tuhanku hingga saat ini.
Kami tak pernah banyak komunikasi selain tentang kegiatan sosial dan organisasi. Sikapnya selalu menghormati wanita dan selalu menjaga jarak dengan non muhrim agar tidak ada fitnah. Aku menyadari banyak hal yang kurang dalam diriku maka tak pantas aku mencintainya yang sempurna di mataku. Maka biarlah perasaan ini hanya untuk aku sendiri. Tiga tahun berlalu dan hari kelulusan pun tiba tapi perasaanku tak pernah berubah terhadapnya bahkan semakin terus tumbuh.
Tak ada kata-kata perpisahan antara aku dengannya, tak ada kenangan aku bersamanya, yang ada hanya memori tentangnya. Setelah menerima ijazah kami melanjutkan perjalanan hidup kami masing-masing, mengejar asa dan cita yang tersimpan sejak kecil. Hamzah melanjutkan kuliah ke UNDIP, awalnya aku dapat PMDK di sebuah Universitas bergengsi di kotaku, namun terbentur biaya aku tak mengambil kesempatan itu. Aku memilih untuk bekerja dan melanjutkan kuliah serta harapanku kelak dengan biaya sendiri serta membantu orangtuaku membiayai adik-adikku.
Dari situlah aku bertekad untuk membunuh cintaku, mengubur semua memori tentangnya, fokus pada cita serta harapan orangtuaku. Aku tak pernah mencari tahu tentangnya, bahkan aku memutuskan komunikasiku dengan teman-teman perjuanganku di Organisasi dan teman-teman seangkatanku demi fokus pada hidupku. Tapi hati kecilku berkata lain, aku tak pernah bisa mengubur semua tentangnya bahkan hati kecilku berjanji akan menerima orang lain dalam hidupku jika dia sudah bahagia dengan orang pilihan Tuhanku untuknya.
“Leuwi Panjang habis.” suara kondektur membangunkan tidurku karena bus yang ku tumpangi sudah tiba di pemberhentian terakhirnya. Fitri pun sudah tak ada, mungkin dia turun sebelum terminal di saat aku tertidur. Aku pun langsung turun dari bus yang ku tumpangi dan menghirup udara pagi kota Kembang yang sudah tercemar asap kendaraan terminal. “Teteh… ada barangnya yang ketinggalan.” Teriak suara kondektur sambil berlari menghampiriku. “Aku Tak membawa barang apa pun, kecuali tas selempang yang aku bawa ini.” gumamku.
Tadi saya periksa bus nemuin tas yang tertinggal di bagasi atas tempat teteh tadi, makanya saya teriakin.” jelas sang kondektur dengan terengah-engah. Aku mengambil tas tersebut walaupun aku tahu bukan milikku, aku ingin memeriksanya mungkin ini milik Fitri dan ada informasi yang aku dapatkan dari tas ini. Setelah aku periksa ternyata benar tas ini milik Fitri karena di tas ini ada berkas-berkas Milik Fitri yang mungkin ini dokumen-dokumen penting untuknya.
“Pak terima kasih yah, karena tas ini milik teman saya, nanti akan saya sampaikan.”
“Sama-sama Neng.”
Akhirnya ku memutuskan untuk pergi ke rumah Fitri ke alamat yang tertera pada fotocopy KTP yang termasuk dalam berkas-berkasnya. Ku lihat tempat tinggalnya berada di daerah Dayeuh Kolot. Akhirnya dengan bantuan pak sopir taksi setelah satu jam aku menemukan alamat yang aku cari. Sebuah rumah yang asri dengan bermacam-macam jenis bunga di halaman depannya. “Pasti ini salah satu hobi Fitri.” Pikirku. Tak menunggu lama setelah membayar ongkos taksi, aku langsung menuju pintu dan memberi salam. Terdengar suara perempuan yang menyahut salamku.
“Mungkin itu Fitri.” tebakku. Kemudian muncul seorang gadis menginjak usia remaja memakai kerudung warna tosca kesukaanku. Dari wajahnya mirip seseorang yang sangat aku kenal entah siapa. “Walaikumsalam … Teteh Cari siapa?” Tanyannya lembut membuyarkan lamunanku.
“Cari Fitri, apa benar ini rumahnya?” Jawabku singkat. “Iya Teteh, tapi Umi langsung ke rumah sakit, karena Abi kena musibah.” jelasnya dengan nada sayu.
Ternyata Fitri sudah punya anak ABG, itu aku tahu dari dia memanggilanya Umi.
“Sabar ya Dek, mudah-mudahan Allah memberikan kesembuhan buat Abinya.” Hiburku. “Amiin…..”
“Teteh ini dari mana ya? kalau boleh tahu. Soalnya belum pernah lihat sebelumnya.” tanyanya heran.
“Oh iyaa.. Nama teteh Lia, kenal sama umimu baru tadi malam di bus menuju Bandung. Ke sini mau anterin barangnya Umi kamu, karena ketinggalan di Bus..” Jelasku.
“Aku Rihana, putri sulungnya Umi Fitri.” Kenalnya sambil mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya. Ku lihat sekeliling Ruang tamu yang dihiasi dengan ornamen-oranemen bunga yang sangat eksotik. Rumah ini memang ditata sebagai aplikasi dari sebuah kalimat “Baiti Jannati”. Sedang asyik menikmati suasana ruang tamu tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah foto dengan frame warna Gold yang membuat detak jantungku berhenti.
“Teh Lia, mangga atuh diminum airnya” Suara Rihana mengagetkanku. “Dih si Teteh jadi ngelamun.” Ejeknya.
Aku tak menghiraukan apa yang dikatakan Rihana, aku hanya merasakan aliran darahku terhenti. “Itu umi sama Abi waktu Nikah, mereka menikah semasa kuliah. Makanya walaupun masih muda umi udah punya anak sebesar ini. Teteh kalau mau ketemu umi mungkin bisa bareng Rihana ke sana, ba’da Dzuhur, gimana?” Jelasnya.
Mungkin Rihana sadar kalau aku dari tadi memperhatikan foto pengantin orangtuanya.
“Kalau boleh tahu nama Abinya Hana siapa?”
“Abi Hamzah nama panjangnya Lutfi Hamzah Firdaus kalau Umi namanya Fitri Rachma Diyani.” Jawab Rihana dengan jelas.
Kali ini bukan hanya aliran darahku saja yang terhenti, detik waktu pun serasa tak berputar lagi. Kini penantian dan asaku terhadap cinta yang ku nantikan telah terjawab dan semuanya harus berakhir dengan mengikhlaskan untuk tidak dapat memiliki cinta itu. Tak terasa bulir air bening mengalir membasahi pipiku.
“Teteh kenapa menangis? Gimana mau ikut Hana ketemu Umi dulu gak?”
“Teteh menangis ingat sama orang-orang di rumah, mungkin teteh mau langsung balik lagi. Jadi maaf gak bisa ikut Hana tengok Abinya. Sampaikan saja salam teteh ke orangtuamu.”
Hana maafkan aku, tangisku bukan karena apa yang aku katakan. Aku menangis bukan pula karena aku kecewa, tapi aku menangis bahagia karena orang yang sangat ku cintai telah bahagia dengan kehidupannya. Aku pun bergegas pulang, tak ada kata-kata yang bisa aku sampaikan lagi untuk Hana. Selamat tinggal kota Bandung, di sinilah terminal terakhirku untuk sebuah penantian. Terminal yang tak akan ku kunjungi dengan harapan yang telah aku pendam selama dua puluh tahun.
Cerpen Karangan: Shin Zhoulee
Share on Google+

You Might Also Like

Comment Now

0 comments