cerpen cinta : Ketika Mentari Menghapus Embun

Posted
Ketika Mentari Menghapus Embun
Cerpen Karangan: M. Ubayyu Rikza
Hasil gambar untuk cinta matahari menghapus embun pagi

Aku mencintai perbedaan, aku menyukai kesederhanaan. Tapi aku tak membenci penyeragaman, juga tak menghujat kemewahan. Orang-orang menganggapku aneh karena tak sejalan dengan mereka, mereka melihatku kaku ketika aku benar-benar memegang prinsipku, mereka memandangku plin-plan saat aku toleran, mereka juga menganggapku lemah saat aku mencintai seseorang dari hati. Ya, benar-benar dari hati. Tak pernah ada yang salah dari cara mereka menilaiku. Aku pun tak pernah memusuhi kemerdekaan yang mereka punya, sekali pun pikiran mereka menjajah nuraniku. Tak apa, sungguh. Biarkan mereka berusaha merubah jalan pikirku, Selagi mereka tak merubah nama kebanggaan yang dihadiahkan kedua orangtuaku, yaitu Fajar. Aku akan selalu tersenyum di depan mereka.
Tapi kisah ini bukan hanya tentang aku dan mereka, tapi antara aku dan embun. Embun adalah teman sekolahku, dia gadis sederhana, childist, humoris, seru, dan kadang juga terkesan lebay. Bagaimanapun dia, di mataku dialah gadis terbaik yang pernah ku kenal. banyak hal yang membuatku terpesona. jika ku tuliskan dengan bait-bait puisi, mungkin hanya akan menjadi puisi yang tak kunjung usai. Jika ku coba melukiskan indahnya mungkin sejuta warna yang ku goreskan dalam kanvasku takkan seindah bayangnya. Garis senyumnya membuat tampak begitu cantik, sinar matanya benar-benar memperlihatkan ketulusan, gaya bicaranya yang santun dan manja membuatku tak punya alasan untuk tak mengaguminya.
Setelah sekian lama aku mengaguminya, sampailah pada saat yang tepat untuk menyatakan perasaan yang selama ini ku pendam. Saat itu jam istirahat kedua, kumandang adzan dzuhur pun mengantarkanku ke masjid sekolah. Aku berjalan sendiri melawati pintu kelasnya yang tak satu pun siswa ada di dalamnya. Aku menengok ke kiri, ke kanan tapi tak menemukannya. Tiba-tiba terdengar teriakan, “Jar.. Ngapain tengak-tengok di sana? Lah wong Embun udah di depan mesjid.” memang begitu polosnya sahabatku Udin. Dia selalu pandai membuat wajahku memerah. Ku teruskan langkah kakiku, ku temui Embun yang masih beriaskan air wudu, ku kuatkan lapisan tekatku untuk mengajaknya bertemu di taman depan sekolah. “Insyaallah Jar” begitu jawabnya.
Bel berdering kencang, seakan menyeru agar aku bergegas menunggunya. Aku duduk di bangku warna-warni di bawah pohon yang begitu rimbun dan dalam suasana tenang. Tapi aku tak mampu menikmatinya, jantungku berdebar kencang, kesejukan taman tak mampu melegakan napas penasaranku. Detik demi detik mulai berganti. Tak begitu lama, dia datang dengan hijab yang menghiasi wajah cantiknya serta masih berbalut seragam biru abu-abu dan tas hitam kesayangannya. Sungguh selalu terlihat cantik dan anggun.
Aku memberanikan diri menatapnya dari bangku itu, bergetar jiwaku saat dia mulai mendekat dan semakin dekat. Dia lemparkan senyuman penuh arti, aku pun semakin tersipu malu. Dengan penuh ketenangan dia menghampiriku dan langsung meraih tangan dinginku kemudian ia tempelkan di pipi lembutnya. Seketika aku terdiam, seakan aku tak tahu tujuan awal yang telah lama ku rencanakan. Dengan tenang dia duduk dan mulai mengorek maksudku.
Lidahku terasa kaku, jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, keringat dingin pun mulai ke luar dari pori-pori telapak tanganku. Bunga-bunga di taman seakan berhenti memancarkan keindahannya untuk sekedar memberiku waktu, patung-patung itu juga menatapku penuh kecemasan seakan mereka pun tahu kegelisahanku. Duniaku benar-benar berhenti. Tapi aku coba melawan itu semua dan ku beranikan untuk menatap mata indahnya dan berkata, “Bun, a..aku sadar memang tak sempurna, aku bukan orang berada, bukan pula dari keluarga yang bertahta, aku adalah apa yang kamu lihat selama ini.”
Sebelum dia memotong ucapanku, ku sambung kembali kalimatku sambil ku ambil setangkai mawar yang sengaja ku simpan dalam tas lusuhku. “Banyak orang menyatakan perasaannya dengan mawar, tapi tak semua orang punya makna yang sama. Aku tak pintar seperti orang-orang yang menganalogikan wanita seperti mawar, aku juga tak bisa membeli seikat mawar seperti mereka. Aku hanya menunjukkan ketulusan dan perjuanganku dari setangkai mawar yang sengaja ku tanam dan ku rawat sendiri hingga ia secantik ini. Begitu pun harapanku, kamu menjadi mawar yang akan ku jaga sampai Tuhan memetikmu dan memintamu kembali. Bun, aku sayang kamu.”
Dia terdiam, kemudian menatapku dengan tajam sambil menggelengkan kepalanya. Aku paham artinya. “kalau begitu jawabannya, oke Bun, aku memang tak pantas untuk gadis sepertimu.” begitu desisku dengan nada haru. “Kenapa Jar? Aku geleng-geleng karena sadar selama ini memang kamu yang paling care sama aku. Aku terharu dengan perjuanganmu. Aku juga seneng banget kok Jar. Aku sebenarnya juga sayang kamu.” kalimat indah itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Aku benar-benar bahagia. Ingin rasanya meneriakkan syukurku dalam kalimat cintaku, tapi tak bisa. Seketika itu aku memeluknya, tak peduli dengan siapa pun, tak peduli apa pun. Tiba-tiba dia mencubit hidungku seraya berkata, “Ih, dasar genit. Sini aku tonjok dulu. Hehe.” aku pun tersenyum malu.
Bias jingga kembali menyusup dari jendela kamarku. Kembali ku gendong tas lusuhku. Ku ceritakan kebahagiaanku dengan teman-temanku, Udin, Rudi, Bayu, dan Nugie. Mereka tampak antusias mendengar ceritaku. Ucapan selamat pun mereka lontarkan sekali pun dengan nada ejekan. “Ciiiee. Jomblo ngenesnya udah sembuh,” begitu kata Rudi.
“Ternyata lumayan juga temenku ini,” begitu sahut Bayu sambil menepuk punggungku.
Berbeda dengan Nugie yang tiba-tiba berbisik, “Jar, Embun kan orang kaya. Apa gak takut disangka kamu matre atau kamu manfaatin dia? Saranku kamu jangan terlalu cinta sama Embun. Aku tahu selera orangtuanya, Embun kan tetanggaku jadi dikit-dikit aku tahu gaya hidupnya.”
“Tenang Gie, aku tipe pejuang kok.” begitu kataku dengan tenang.
Hari-hari berganti menjadi bulan, aku dan Embun masih dinaungi romansa asmara. Banyak hal yang kita lewati bersama, suasana sekolah pun menjadi lebih indah. Semangatku kembali terpacu seraya menjamu ujian nasional yang semakin dekat menjemputku. Waktu bertemu pun semakin banyak karena sekolahku mewajibkan les sepulang sekolah. Senja itu, sepulang les matematika. Embun menghampiriku dengan raut sedikit layu. Dia memintaku untuk mengantarkan pulang. Aku pun bergegas menghidupkan motor bututku. Tanpa ragu dia duduk di jok lusuhku tanpa sedikit pun malu.
Dua puluh menit kemudian, sampailah di rumah bertingkat, bercat abu-abu dengan desain mewah. Dalam hatiku berkata, “Pantas saja Nugie bicara begitu.” Ku matikan desingan mesin motorku yang bisa mengganggu. Tak lama kemudian seorang wanita setengah baya dengan make up agak tebal membuka pagar teralis yang mengitari halaman indahnya. Wanita itu menatapku sembari melirik motor bututku.
“Dek, kamu pulang sama siapa? Katanya sakit kok ndak minta dijemput?” ucap wanita yang ternyata ibu dari Embun.
“Ini Fajar Bu, yang aku ceritakan kemarin. Ayo jar masuk dulu udah mau hujan loh.” jawab Embun dengan lembut. Wanita itu diam, kemudian menyuruh Embun masuk dan istirahat. Aku cium tangan wanita itu sambil meminta izin pulang. “maaf Bu, maaf Bun. Aku langsung pulang aja. Ini udah sore kok.” wanita itu masih diam. Aku pulang dengan seribu pertanyaan yang memenuhi pikiran.
Sesampainya di gubukku, suara handphone-ku mendayu-dayu memanggilku, menggugahku dari nakalnya lamunan. Ku angkat dan ku dengarkan cerita dari Embun. Nada bicaranya tak setegar biasanya, ternyata ketakutanku benar. Ibunya tak setuju dengan hubunganku. Beliau berkata aku tak mempunyai masa depan, aku tak pantas menemani Embun. Aku merasakan air matanya yang jatuh, aku merasakan perihnya tapi aku tak tahu harus bagaimana, aku coba menenangkannya meskipun aku tak tenang. Menjauh tak mungkin secepat itu, tetap di sampingnya juga tak semudah itu. Aku benar-benar tak mengerti. Hanya satu hal yang bisa ku yakini. Berjuang dan terus berjuang.
Ku coba meresapi setiap kata yang dia tuturkan, ku sadari semua kelemahanku. Aku hanya anak seorang petani yang sawah pun masih menyewa dan seorang buruh yang tenaganya pun tak sekuat dulu. Sedangkan dia anak seorang pejabat terhormat yang selalu berpakaian rapi, berdasi, dan hidup bergelimang harta. Aku terdiam bersama gelap yang semakin pekat. Bintang-bintang seakan malu menemaniku. Hanya semerbak angin yang mampu membius napas sesak di langit dadaku.
Esok pun kembali datang, aku berharap mentari yang datang juga membawa harapan. Ku ceritakan kegelisahanku kepada teman-temanku, tapi tak ada yang mendukungku. Bukan semangat yang ku dapat malah harus berperang melawan logika-logika mereka yang hanya mencari aman, yang tak mau berjuang. Terlebih lagi, ternyata hubunganku tak disukai teman-teman yang lain. Ada yang mengira aku hanya ingin memanfaatkan kepandaiannya bahkan kekayaannya. “Udah sadar diri aja Jar, relakan dia. Biarkan dia bahagia dengan orang yang pantas. Mending kamu fokus ujian aja.” cletuk Udin sambil merangkulku.
Bel istirahat kembali berbunyi. Aku masih lemas di bangku kelas. Kemudian Embun datang menghampiriku, dia menceritakan kembali kejadian sore itu. Dengan mata berkaca-kaca, Embun berucap, “Jar, maafin aku, maafin Ibuku. Aku sayang banget sama kamu. Tapi untuk saat ini lebih baik kita fokus ujian dulu ya. Jangan terlalu dipikirkan masalah ini. Aku selalu sayang kamu Jar. Percaya aku, suatu hari nanti kita pasti bisa bersama dan bahagia.” aku hanya bisa menganggukkan kepalaku meskipun berat. Dia pergi bersama bel masuk berbunyi. Hari-hari indah itu menjadi biasa. Kesendirian juga kembali menjadi teman. Pikiran sengaja aku fokuskan ke ujian. Waktu berlalu begitu lambat tapi ujian yang mencekam pun mampu ku lalui sendiri.
Embun kembali datang ke kehidupanku dengan komitmen yang lebih tebal. Tapi hubungan ini tetap harus sembunyi-sembuyi. Tak apa, mungkin suatu hari nanti aku bisa merubah segalanya. Akhirnya tiba di waktu pengambilan pengumuman kelulusan. Aku dan ibuku datang naik bus, dengan harus ditambah berjalan untuk sampai ke sekolahku. Wajar kami terlihat berantakan dan berkeringat. Sesampainya di gerbang sekolah terlihat Embun dan ibunya yang turun dari mobil silver yang mengkilap. Terpaksa aku harus menyapanya. Kami berjalan melewati mereka dan ku beranikan untuk sekedar bertanya, “Baru sampe juga Bu?” tanyaku dengan sangat berdebar. Beliau tak menjawab sapaku tapi langsung memangggil nama ibuku, “Mbak Sumi?” begitu teriaknya sambil menatap ibuku. Aku tak mengerti. Tapi ibuku mendekat dengan mimik yang benar-benar kangen.
Aku dan Embun masih tak mengerti, setelah hampir sepuluh menit mereka berbincang. Ibuku menghampiriku dan berkata, “Le, itu Ibunya Embun yang kamu ceritakan to? Waktu dulu Ibu di kalimantan, Ibu sempat bantu bersih-bersih di rumahya Bu Zuni itu, Embun belum lahir juga. Eh, udah kamu jangan sama si Embun. Ndak pantes le.” aku tak mampu menjawab apa-apa, dan berjalan lebih cepat dari ibuku menuju kelasku. Surat lulus sudah ku genggam, harusnya aku bahagia dengan keberhasilan belajarku, tapi di sisi lain aku malah berduka. “mungkinkah harus sadar diri dan melepaskannya?” kalimat itu yang selalu terbesit dalam pikiran.
Aku mencari-cari jawabannya sendiri, hingga akhirnya ku beranikan berkunjung ke istananya. Selalu saja dia pandai membuat perasaanku nyaman sekali pun awalnya dinaungi rasa ketakutan. Aku duduk di kursi empuknya, dia menjamuku dengan hidangan beraneka macam yang mungkin hanya sesekali terlihat di meja ruang tamuku. Tak lama kemudian ibunya menemuiku dan langsung memberondong pertanyaan.
“Dek Fajar, besok mau lanjut sekolah di mana? Ibunya sekarang kerja di mana ya?” begitu ucapnya dengan nada menjengkelkan. Apa daya aku bukan orang berada, sedangkan beliau sebenarnya tahu apa jawabanku. Tapi tetap ku jawab dengan nada biasa, “Tidak lanjut Bu, belum ada biaya. Insya Allah tahun depan. Sekarang mau kerja dulu sambil ngumpulin uang. Oya, Ibuku di rumah aja kok Bu, kalau ada tetangga yang butuh tenaganya baru beliau kerja.”
Embun seakan menahan malu dan bersembunyi di balik hijabnya. Berbeda dengan Ibunya yang seakan tertawa dan kemudian masuk ke kamar. “Aku tak apa Bun, bener juga kok yang Ibumu tanyain. Mungkin aku juga harus sadar diri, kalau kita benar-benar berbeda dalam semua.” begitu ucapku dengan pura-pura tenang. Embun pun menangis dan tak bisa berkata apa-apa. Aku paksa melangkah pergi meninggalkannya.
Ku tarik gas motorku sekuat tenaga, seakan tak peduli dengan maut yang mengikuti. Aku menuju tempat biasa menikmati senja. Suasana senja memang seperti isi hatiku, indah tapi tak bertahan lama karena kegelapan pasti akan datang. Aku mulai menyerah. Gelap datang, itu pertanda aku harus segera kembali ke gubukku. Sesampainya di sana, Aku kaget bukan kepalang. terlihat dari teras rumahku, Embun sedang duduk di samping ibuku sembari memegang segelas teh. “Assalamuaikum.” ucapku sambil mendorong pintu. Embun tersenyum tanpa ku dengar dia menjawab salamku. Aku bahagia melihat ibuku yang sedang asyik bercerita, seakan mereka sudah mengenal lama. Bapakku pun sepulang dari tahlilan juga ikut duduk dan bercerita bersama kami.
Tanpa ku sadari jam dinding yang terpasang di triplek depan kamarku sudah menunjukkan pukul sembilan. Tapi ku lihat dari sorot mata Embun seakan dia tak mau pulang. Entah apa yang dipikirkan. Entah ingin menunjukkan perjuangan atau ingin menebus rasa bersalahnnya, aku tak tahu. Ku bujuk agar dia pulang, tetap saja ia teguh tak menghiraukan saranku. “Dek Embun, sudah larut malam loh. Biar dianter Fajar kalau mau pulang. Kasihan mesti di cariin Ibu-Bapaknya. Tapi Ibu ndak ngusir dek Embun ya. Misal dek Embun mau nginep sini juga ndak apa-apa kok tapi izin orangtuanya dulu.” begitu nasihat ibu sambil memandangi embun. Dengan cepat embun menjawab.
“Mau di sini aja ya Bu, besok pagi pulangnya. Udah izin tadi kok.” Bapak ibuku menyetujuinya.
“Jar, beresin dulu kamarmu, biar dek Embun tidur di kamarmu sama Ibu, kamu nanti sama Bapak di kamarnya Bapak.” Ucap bapak sambil memegangi rok*knya. Seketika aku langsung membereskan kamarku, tapi belum juga selesai terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian terdengar suara wanita dan seorang bapak yang berbicara dengan nada marah. Aku berlari ke luar kamar. Ternyata itu orangtuanya Embun.
“Dek, Pulang!” Pekik Bapak Embun. “Bapak, sama Ibu itu ndak tahu malu ya? Nginepin anak orang di rumahnya kok ndak dimarahi. Makanya sekolah biar tahu aturan!” Sambungnya sambil menatap sinis ibu dan bapaku. Tak ketinggalan aku yang baru saja ke luar disambut nada tinggi dari Bu Zuni, “Kamu ndak usah deket-deket sama Embun lagi! Awas aja sampai aku tahu kamu sama Embun lagi! Kamu harusnya sadar diri, siapa kamu dan siapa Embun. Sejak Embun kenal kamu, dia sering pulang telat, nangis terus. Kalau kamu suka sama Embun. Kamu jauhi Embun!” Pekik Bu Zuni sambil menyeret tangan Embun.
Embun menangis hebat sambil memandangi kami satu persatu, sorot matanya berbicara maaf yang dalam. Kami tetap diam dan merelakan Embun ditarik menuju mobilnya. Aku benar-benar hancur. Aku merasa bersalah dengan orangtuaku, mereka hanya ingin aku bahagia. Tapi mereka dihina-hina. Aku masih tak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba bapakku yang masih memegangi rok*knya berbicara dengan nada serius. “Jar, maafin Bapak-Ibu ya. Kalau kami bikin malu Fajar.” seketika itu aku mendekati bapakku dan ku cium punggung tangannya. “Yang harusnya minta maaf itu Fajar Pak, maafin Fajar Pak.” Begitu ucapku yang masih tertunduk di depan bapakku. “Udah Jar, kalau jodoh ndak ke mana kok.” Sahut ibuku yang seakan menungguku untuk memeluknya.
Malam menjadi lebih gelap dari biasanya. Kabut yang dingin pun tiba-tiba datang dengan membawa suasana menjadi lebih melankolis. “Tik.. tak.. tik.. tak..” Bunyi jarum jam yang setia memberi nada dalam lamunanku. Aku masih terluka dengan semua ucapan Bu Zuni, tapi yang membuat sangat sakit ketika ingat orangtuaku dihina di depanku sendiri. Tak pernah aku sangka, bakal jadi sedramatis ini. Lampu kamarku seakan lelah menemani lamunku yang tak membuahkan solusi. Kabut pun pergi, ku sapa bulan yang tak utuh itu, dan ku janjikan padanya bahwa ketika fajar menghiasi langitku, Embun tak akan lagi menjadi mimpi. “Aku akan meningalkannya.” Aku bicara pada bulan yang pasti tak mendengar.
Waktu demi waktu pun berganti. Bukan aku tak merindukannya, tapi aku akan tetap memegang prinsipku. Bukan aku tak peduli dengannya, tapi rasa sakit itu masih menusuk hati dan ingatan. Akhirnya aku bisa melupakan Embun yang sekarang belajar di luar kota. “Jika denganku hanya membuatmu menangis, aku rela meninggalkanmu. Akan ku coba menyakitimu untuk yang terakhir kali. Jika luka yang ku beri telah pergi, kamu akan selalu bahagia. Tak akan lagi ada tangis untukku. Kemudian silakan sebut aku pecundang.” begitu tulisan yang ku pajang di sterofom kamarku.
Suara adzan subuh menghilangkan Embun dari mimpiku, aku pun terbangun. Memang, aku merindukannya. Aku hanya bisa melamun di jendela kamarku, dan ku lihat pagi yang hebat di tanah kelahiranku. Tak sengaja aku melihat embun yang menempel di daun mawarku. Ku pandangi sembari mengingat tentangnya. Suci dan indah sekali. “Masihkah kamu suci dan indah seperti embun ini?” Pertanyaan yang terbesit dalam pikiran.
Sayangnya, aku tak bisa seperti daun itu, aku tak bisa menjadi tempatmu bersandar dan menjagamu. Saat ku nikmati keindahannya, mentari datang dengan gagahnya. Awalnya embun semakin indah, sinar mentari mampu menembus sucinya embun dan ia rela memantulkan kilau indahnya. Seakan mereka sedang menghiburku dan mengobati rinduku. Tapi semakin lama ku pandang, mentari itu mulai merubah embun. Perlahan embun menghilang dan benar-benar hilang. Aku tersenyum dan kembali mengingatmu.
Cerpen Karangan: M. Ubayyu Rikza
Share on Google+

You Might Also Like

Comment Now

0 comments