CERPEN : Aku Rindu Kedamaian

Posted
Aku Rindu Kedamaian
Cerpen Karangan: Winda Wahdania

Hasil gambar untuk aku rindu kedamaian dengan mu DANBO

Malam dingin menemani, simpang siur suara jangkrik yang khas menjadi musik pengiring tidur. Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 22.00, mataku belum ingin terpejam masih beradu pada pena dan kertas di atas meja belajar. Mungkin mereka pikir aku sedang belajar atau paling tidak mengerjakan PR, itulah pikiran orangtua yang menganggap setiap goresan pena yang digerakkan anak kelas 1 SMA sepertiku ini berisi angka matematika, teori-teori fisika, kimia, biologi, sejarah, ekonomi, dan kumpulan pelajaran yang guru-guru dongengkan setiap pagi hingga sore. Itulah pikiran mereka yang selalu menganggap anak usia 15 tahun sepertiku tak tahu apa-apa. Padahal tidak goresan pena yang ku gerakkan ini adalah ungkapan kataku yang tak pernah mereka dengar.
Hanya kertas ini yang memahamiku, yang rela sebagai tempatku mencurahkan yang aku rasakan, kertas dan pena ini adalah sahabat terbaikku. Gerakan tanganku terhenti sejenak ketika suara mobil ayah dan Ibuku terdengar masuk garasi rumah, langkahku percepat ke ranjang tidurku. Apa jadinya jika mereka tahu aku belum terlelap dalam mimpi di waktu yang ku rasa belum terlalu malam, tapi bagi mereka sudah terlalu larut. Adikku juga sudah tidak terdengar suaranya mungkin sudah hanyut dalam dekapan Eyang. Ku tarik selimut, aku pura-pura terlelap agar tidak ku dengar dongeng panjang dari Ibuku.
Malam memang waktu yang selalu mereka gunakan untuk pulang, entahlah apa yang mereka kerjakan di luar rumah dari pagi hingga malam. Mereka bilang kerja, cari uang untuk kebutuhanku dan Rio adikku yang baru menginjak kelas 1 SD yang harusnya dia terlelap dalam dekapan Ibu bukan Eyang. Tiap hari aku di rumah hanya ada Eyang yang sudah tak muda lagi, dan Rio yang mulai terlihat nakalnya. Di mana orangtua kita? Kerja itulah jawabnya. Ibuku adalah seorang pegawai bank swasta, aku sendiri tak tahu pasti mengapa dia selalu pulang lewat dari jam 9 malam.
Dan ayahku seorang pengacara, aku juga tidak tahu sama sekali apa yang membuatnya selalu pulang malam. Yang ku tahu, aku berjumpa dengan mereka ketika sarapan, hari raya, dan hanya terdengar suara mobil ketika malam atau kalau tidak suara ribut, ricuh, pertengkaran aku bosan. Mereka pikir aku tak tahu, mereka pikir aku hanyalah anak kecil yang tak perlu tahu. Tapi sampai kapan batinku menjerit ketika mereka beradu pendapat, aku ingin berteriak hentikan semua ini, tapi aku hanya berbicara pada batin dan air mata.
Aku berkemas cepat pagi ini, lamunan panjangku tadi malam membuatku bangun kesiangan. Rasa ngantuk masih mengiringi pagiku, cepat sekali mentari itu bangun padahal aku masih ingin terlelap. Biasanya Rio selalu membangunkanku kenapa tadi tidak? Eyang juga tidak terdengar mengetuk pintu. Seragamku belum tertata rapi aku langsung berlari ke meja makan, tak terlihat satu orang pun di sana. “Lit, Ayah dan Ibu berangkat duluan, tadi Ayah ada kepentingan mendadak dan Ibu juga. Ini uang saku kamu, hati-hati di jalan ya sayang. Jangan berantem sama adek.” Hanya ada memo dan uang yang tergeletak di meja.
Aku heran apa tidak bisa menungguku 5 menit saja, paling tidak sekedar menciumku atau melihat senyumku di pagi hari. Ah sudahlah, pikirku. Aku berjalan cepat ke garasi, menjalankan Mio putihku ke tempat yang sebenarnya tak begitu ingin ku hampiri, sekolah. Tak butuh waktu lama, cukup 15 menit aku sampai di gerbang sekolah. Suasana sudah sepi, tak ku lihat simpang siur siswa mungkin sudah bel masuk. Aku melepas jaket hitamku dan berjalan cepat ke kelas. Dugaanku tidak meleset seorang pria setengah baya berkumis tebal, siapa lagi kalau bukan Pak War guru matematika sekaligus guru yang paling ditakuti anak-anak telah berdiri tegak di depan papan tulis. “Siap-siap dapet omelan pagi nih, oh… Tuhan.” otakku bergumam.
“tok… tok… permisi Pak.” senyumku sedikit. “jam berapa ini?” sahut guru berpostur tegap dengan suara yang nyaring itu.
“maaf pak.” singkatku. “sekolah ini punya peraturan, kamu baru kelas satu saja sudah telat begitu. Mau jadi apa? Kamu tahu aturan tidak? Kamu itu perlu belajar disiplin.” sambarnya. Aku hanya tertunduk, bukan karena takut tapi leherku sungguh tak kuat menahan ngantuk yang begitu dalam.
“kamu dengar tidak…” bentaknya lagi.
“Oh iya Pak, besok tidak telat lagi.” jawabku spontan.
“Ah sudahlah, duduk.”
“makasih Pak.”
Duduk di meja paling pojok belakang memang tempat favoritku sejak SMP. Aku selalu memilih tempat itu, jika ditanya mengapa? Jawabku sederhana karena di sana adalah sumber inspirasiku bermain dengan pena dan kertas. Jauh dari pengawasan guru-guru yang sama halnya dengan orangtuaku terlalu menuntut nilai sempurna tanpa mereka peduli bagaimana perasaanku. Ah itu yang dimaksud dewasa, kata mereka.
Jam yang paling ditunggu tiba, bunyi bel itu menandakan usai pelajaran sekolah hari ini. Siswa berhamburan ke luar gerbang dan aku berjalan santai menuju parkiran. Aku heran kenapa mereka semangat sekali untuk pulang bagiku rumah tidak jauh lebih baik, meskipun sekolah bukan tempat yang ku sukai juga tapi setidaknya aku terhibur saat di sekolah. Kalau di rumah mungkin hanya Rio dan Eyang yang ku lihat.
Kalau aku mampir ke rumah teman, pasti Eyang khawatir hanya Eyang yang memikirkan hidupku dan Rio di dunia ini. Kalau Ibu dan Ayah yang mereka tahu hanya marah dan uang itu saja. Aku melanjutkan langkahku ke parkiran, tancap gas dan pulang. Rutinitas yang membosankan, sangat membosankan. Aku jenuh ingin menikmati hidup seperti mereka tapi tak bisa, kekangan orangtua yang membuatku seakan terpenjara.
“kakak…” panggil adik kecilku dari arah luar kamarku. “ya?”
“bantuin PR.”
“iya, bawa sini… Eyang ke mana?”
“masak, aku ambil buku dulu.”
“iya.”
Satu-satunya hiburanku hanyalah adikku, tingkahnya yang polos dan lucu alasanku betah di rumah. Dan masakan Eyang tiap sore yang selalu menggugah selera. Setidaknya ada sedikit keharuman di antara bangkai kehidupan. Waktu terus berjalan mengajakku memahami kehidupan tak peduli berapa lelahnya aku atau bagaimana perasaanku. Rutinitas yang berulang-ulang tiap hari, sekolah, makan, tidur, mendengarkan amarah orangtuaku, pertengkaran mereka, dan yang paling indah menikmati makan malam bersama Rio dan Eyang.
Dua malaikat pelukis senyum
Ada keramaian, tapi ku rasa sepi
Ada ketenangan, tapi ku rasa gundah
Di antara ribuan luka, Jutaan duka
Dan banyak air mata yang berjatuhan
Ku miliki malaikat pelukis senyum
Dua malaikat pelukis senyum
Yang membuat dunia ini lebih berarti
Masa SMA yang sering digambarkan dengan masa masa indah tak berlaku untukku. Masa remaja yang mereka katakan bisa bermain-main, mulai jatuh cinta juga tak berlaku. Bahkan hingga aku kuliah saat ini aku tak pernah merasakan pacaran, bermain bersama teman, atau hal hal lain yang umumnya teman-temanku lakukan. Entahlah waktu begitu cepat berlalu, usiaku sudah 18 tahun aku mulai menginjak bangku kuliah. Tentu di universitas yang tidak jauh dari rumahku, alasan Ibuku klasik belum tega jauh dariku. Padahal dia yang selalu menjauh dariku. Ah biarlah ku diam di tengah omelan mereka.
“Eyang, masak apa?” tanyaku menghampiri Eyang di dapur.
“Opor ayam.. kamu sudah pulang?”
“humm, enak nih baunya, udah dong Eyang kan tadi kuliahnya cuma sebentar.”
“Lita, Lita kamu itu harus belajar masak kalau nanti Eyang gak ada siapa yang mau masak? Kamu kan udah besar anak gadis pula.”
“ih Eyang ngomongnya.”
“suatu saat manusia akan berpulang apalagi Eyang sudah ga muda lagi, sudah bau tanah.”
“Ah Eyang, Rio mana?”
“tadi main sama teman-temannya.”
“tuh kan kebiasaan udah sore gak mau pulang…”
“jangan kamu marahin Adikmu itu masih kecil.”
“justru Eyang masih kecil, harus dibiasakan biar gak jadi kebiasaan.”
“kalau udah besar dia juga tahu mana yang benar atau yang salah, gak semua harus diselesaikan dengan amarah Lit.”
“Tapi itu cara Ayah dan Ibu mendidik aku Eyang.”
“dan bagaimana rasanya?”
“aku gak nyaman Eyang, semua yang aku lakukan salah di mata mereka, satu kesalahan seperti sejuta kesalahan Lita cape banget kalau diomel-omelin terus.”
“nah apa cara itu juga yang mau kamu lakukan untuk mendidik Adikmu?”
Aku terdiam memeluk Eyang dari belakang, kesunyian sore itu menambah hangatnya pelukan Eyangku satu-satunya.
Hangat pelukan itu masih terasa, Suara lembut itu masih bicara
Tatkala tak ada perhatian yang ku rasa, Hangat peluk itu masih terasa
Tuhan menyayangimu lebih dariku, Tuhan inginkanmu jauh dariku
Tuhan inginkanmu kembali di sisinya, Karena Tuhan tahu
Kesabaranmu tak pernah berujung, Dan hangat peluk itu masih terasa
Bendera kuning berkibar di depan rumah, tak pernah ku sangka. Air mata yang terus mengalir tak ingin berhenti, kerumunan orang di samping kanan kiriku. Di depanku sosok tua terbaring kaku dengan senyum tipis. Suara tangis Ayah, Ibu, Rio, dan anak-anaknya yang lain ditambah bacaan surat Yassin menambah derasnya air mataku. Eyang baru kemarin aku memelukmu dan kini kau tinggalkanku. Siapa lagi yang akan menemaniku dalam dunia ini. Siapa yang akan mendengar ceritaku selain kertas putihku. Siapa yang akan mengajarkanku kesabaran. Siapa yang akan menemani lelap tidur Rio. Tuhan mengapa kau ambil malaikat pelindungku di dunia ini dengan tiba-tiba. Apa aku sanggup Tuhan?
“Eyaaangggg.” terdengar tangis Rio yang meledak-ledak terlebih di pemakaman. Aku tak sanggup menatap senyumnya terkubur tanah, aku memeluk Rio begitu lekat. Satu per satu orang mulai pergi, aku masih menatap batu nisan itu. Rio masih bersandar di bahuku menangisi Eyang, tangan Ibu mengelus lembut rambutku, hangat sekali hal yang sangat jarang aku rasakan. Rumah kini terlihat sepi, aroma bunga masih tercium di segala sudut ruangan.
Hidupku masih berjalan, hari-hariku kini ku lewati berdua dengan Rio. Ayah dan Ibu hanya cuti satu minggu lalu melanjutkan rutinitasnya. Tak ada yang berubah, aku belajar sabar dari Eyang entah sampai kapan kesabaran ini tertanam dalam jiwaku. Aku seakan tak sanggup menghadapi kehidupan yang begitu kejam. Amarahku meledak seketika saat malam penuh kesunyian ku dengar mereka kembali beradu mulut, aku sudah jenuh mendengar mereka.
“HENTIKAN!!” bentakku memecah perdebatan mereka.
“Arlita, jam berapa ini kamu belum tidur?”
“Yah, bagaimana Lita tidur kalau kalian berdua bertengkar terus.”
“Lita, tahu apa kamu urusan orangtua.”
“Bu, aku sudah cukup besar, telingaku ini berfungsi dengan normal. Aku selalu berusaha sabar, aku diam bukan berarti aku bodoh tak tahu apa pun. Mau sampai kapan kalian bertengkar terus? Dari aku masih sekolah sampai aku kuliah aku sering mendengar kalian bertengkar, tapi aku diam. Eyang yang mengajariku sabar tapi malam ini aku tidak sanggup mendengar lagi Ayah, Ibu.”
“Ayah kamu itu yang memulai setiap pertengkaran.”
“eh Bu, jangan main tuduh. Aku marah karena aku tahu kamu selingkuh.”
“Aku? Selingkuh? Pandai sekali kamu putar balikan fakta.”
“CUKUP… Hentikan ku mohon.. Aku tahu dari dulu sampai sekarang masalah kalian itu sama, kalian selalu memperdebatkan hal yang sama, kalian itu sudah menikah lebih dari 20 tahun aku sudah besar apa kalian tidak malu? Kalian itu tidak muda lagi, berusahalah memahami aku dan Rio yang masih kecil bukan ego kalian masing-masing.” Aku berlari ke kamar Rio memeluknya sebentar dan kembali ke kamar. Air mata ini kembali menemaniku bersama pena dan kertas.
Pagi itu sangat cerah, suara khas burung yang berkicauan menambah indahnya pagi. Mentari terbangun dari singgasananya menghangatkan bumi dari dingin tadi malam. Pagi masih buta tapi suasana rumah itu sudah terlihat ramai, terlihat bendera kuning itu kembali terpasang. Sepasang suami istri menangis tersedu di sebelah jasad yang terbaring. “Kakak….” sauara anak kecil itu tak ketinggalan menyambar tangis orangtuanya. “Arlita.” tangis yang sama juga terdengar dalam suasana duka pagi itu. Gadis 18 tahun itu berpulang, pertengkaran hebat bersama orangtuanya malam lalu membuat kesabarannya sirna. Pisau dapur menancap tepat di jantungnya pagi itu tanpa kata, tanpa suara gadis manis itu mengakhiri hidupnya. Hanya satu lembar kertas yang ia tinggalkan pagi itu.
Tuhan. Dunia ku begitu kejam, Siang yang ku lalui panas membakar tubuh
Malam yang ku singgahi sedingin es, Luapan amarah ku ingin ku akhiri
Kesabaran ku telah diambang batas, Aku ingin berpulang
Tuhan, Jangan paksa aku hidup penuh kejenuhan
Jangan paksa aku bertahan lebih lama, Saat senyum yang terlukis telah terhapus air mata.. Aku tak sanggup
Tuhan jangan hukum aku yang tak sanggup, Jangan marahi aku seperti Ayah dan Ibu
Jangan salahkan aku jika aku iri pada mereka, Tuhan aku hanya ingin dekap hangat pelukmu
Peluk yang aku rasakan hanya dari Eyang, Eyang yang telah berpulang
Tuhan, Aku rindu kedamaian
Cerpen Karangan: Winda Wahdania
Share on Google+

You Might Also Like

Comment Now

0 comments